Diam diberanda saat senja, memeluk seikat cahaya terakhir. sambil teringat anaknya yang lama tak pulang, ia lemparkan tatapan sampai ke batas dunia. Menerawang disisa cahaya. "dimana kau nak, ini cahaya terakhir yang kujaga untuk menyambutmu. sebentar lagi gelap, aku harus kembali ke pembaringan," hatinya berdendang lirik yang sama dengan yg ia ucapkan kemarin.
Pak Tua itu kembali kerumah, kembali tak didapatinya si Gayus di tapal batas. Istrinya menyambut di muka pintu, tetap dengan senyuman, tidak semili pun gurat kekecewaan tersemat di pipinya, baginya tak apa selama ini bisa mengobati rindu suami tercinta pada si Gayus, putra semata wayang mereka.
Sang istri bukan tidak rindu jua. anak terkasih menghilang seperti tak tahu jalan pulang, ibu mana yang tak sedih. Namun, ia diam bukan tak ingin mencari, berbagai cara sudah dilakukan, bahkan sampai menanyai orang pintar. Sampai suatu waktu, ia membentur tebing yang memaksanya secar halus berkata "Sekarang sudah waktunya diakhiri, semua sudah berarkhir."
Tapi tidak bagi pak Tua, semua belum berakhir. Akan ia tunggu sejak sebelum cahaya hingga cahaya terakhir. Setiap harinya hanya berjalan ke ujung jalan, berharap si Gayus berhenti di bawah pohon mahoni itu, seperti beberapa tahun yang lalu. tapi ia selalu kembaki pulang tanpa menggandeng siapapun, seperti biasa istrinya menyambut di muka pintu, tetap dengan senyuman, tidak semili pun gurat kekecewaan tersemat di pipinya. Dia sudah menduga ini.
Malam begitu lembut. Tak seperti suara detik jam dinding yang terkesan arogan, bulan diluar sana merayap tanpa suara. Begitupun dirumah pasangan kesepian itu. tak sepatah katapun yang terucap selepas magrib tadi. Merela bukan tak saling mengenal tetapi sama-sama menikmati kesunyian yang sudah beberapa tahun mereka rasakan. "Bu, rumah kita tak sehangat dulu ya.." tiba-tiba suara tua itu menghentak sepi. "tak apa pak, ramai pun tak ada artinya kalau ibu tak bersama bapak disini," istri pak tua itu membalas, tak lupa senyuman ia sematkan untuk menghibur suaminya.
"Bu, kemana perginya anak kita, kok udah lama tak pulang, tak ingat kah kita masih menjadi orang tuanya?" Entah keberapa kalinya suaminya menanyakan pertanyaan itu, Ibu yang mulai keriput itu bergegas menghampiri, menggenggam lengan suaminya. mengusap dahi hingga punggungnya.
"mungkin dia sibuk pak. sudah2, kok bapak badannya anget, bapak minum obat lalu tidur ya pak. Besok kan kita harus ke Jakarta pak".
"ke jakarta, bu?" tanya suaminya sambil melihat fokus pada satu titik. "Iya pak, masa bapak lupa. besok kan tanggal 21 Mei," bisik istrinya hati-hati.
Pak tua yang ringkih itu tak beranjak, seperti sedang dililit rantai baja ia tetap terpaku. Tatapannya kosong. Seperti ada kesedihan mendalam jauh di lerung khayalnya, seraya itu ia bergumam dihatinya yang letih "andai dulu aku tidak menyuruh Gayus menjadi aktivis mungkin, sekarang ia masih disini..."
Sang istri mengerti airmata suaminya. Mungkin suamiku takan terlalu menyesal seandainya hari ini kondisi bangsa lebih baik..
Dalam lelah Jatinangor, Mei 2010
*Untuk mereka, Hari Reformasi harus disikapi dengan rasa syukur atau kesedihan?
Pak Tua itu kembali kerumah, kembali tak didapatinya si Gayus di tapal batas. Istrinya menyambut di muka pintu, tetap dengan senyuman, tidak semili pun gurat kekecewaan tersemat di pipinya, baginya tak apa selama ini bisa mengobati rindu suami tercinta pada si Gayus, putra semata wayang mereka.
Sang istri bukan tidak rindu jua. anak terkasih menghilang seperti tak tahu jalan pulang, ibu mana yang tak sedih. Namun, ia diam bukan tak ingin mencari, berbagai cara sudah dilakukan, bahkan sampai menanyai orang pintar. Sampai suatu waktu, ia membentur tebing yang memaksanya secar halus berkata "Sekarang sudah waktunya diakhiri, semua sudah berarkhir."
Tapi tidak bagi pak Tua, semua belum berakhir. Akan ia tunggu sejak sebelum cahaya hingga cahaya terakhir. Setiap harinya hanya berjalan ke ujung jalan, berharap si Gayus berhenti di bawah pohon mahoni itu, seperti beberapa tahun yang lalu. tapi ia selalu kembaki pulang tanpa menggandeng siapapun, seperti biasa istrinya menyambut di muka pintu, tetap dengan senyuman, tidak semili pun gurat kekecewaan tersemat di pipinya. Dia sudah menduga ini.
Malam begitu lembut. Tak seperti suara detik jam dinding yang terkesan arogan, bulan diluar sana merayap tanpa suara. Begitupun dirumah pasangan kesepian itu. tak sepatah katapun yang terucap selepas magrib tadi. Merela bukan tak saling mengenal tetapi sama-sama menikmati kesunyian yang sudah beberapa tahun mereka rasakan. "Bu, rumah kita tak sehangat dulu ya.." tiba-tiba suara tua itu menghentak sepi. "tak apa pak, ramai pun tak ada artinya kalau ibu tak bersama bapak disini," istri pak tua itu membalas, tak lupa senyuman ia sematkan untuk menghibur suaminya.
"Bu, kemana perginya anak kita, kok udah lama tak pulang, tak ingat kah kita masih menjadi orang tuanya?" Entah keberapa kalinya suaminya menanyakan pertanyaan itu, Ibu yang mulai keriput itu bergegas menghampiri, menggenggam lengan suaminya. mengusap dahi hingga punggungnya.
"mungkin dia sibuk pak. sudah2, kok bapak badannya anget, bapak minum obat lalu tidur ya pak. Besok kan kita harus ke Jakarta pak".
"ke jakarta, bu?" tanya suaminya sambil melihat fokus pada satu titik. "Iya pak, masa bapak lupa. besok kan tanggal 21 Mei," bisik istrinya hati-hati.
Pak tua yang ringkih itu tak beranjak, seperti sedang dililit rantai baja ia tetap terpaku. Tatapannya kosong. Seperti ada kesedihan mendalam jauh di lerung khayalnya, seraya itu ia bergumam dihatinya yang letih "andai dulu aku tidak menyuruh Gayus menjadi aktivis mungkin, sekarang ia masih disini..."
Sang istri mengerti airmata suaminya. Mungkin suamiku takan terlalu menyesal seandainya hari ini kondisi bangsa lebih baik..
Dalam lelah Jatinangor, Mei 2010
*Untuk mereka, Hari Reformasi harus disikapi dengan rasa syukur atau kesedihan?
0 komentar:
Posting Komentar