Hari ini aku bangun, seperti yang sudah-sudah aku baru terbangun setelah mentari memanggang kamarku. diantara panas, terik, karena keperkasaan cahaya mentari yang berhasil mempecundangi gorden kamarku, aku tinggalkan kasur yang porak-poranda karena pertempuranku semalam, pertempuran melawan mimpi buruk.
Setengah sadar, sambil terduduk aku berpikir, mau apa aku hari ini? Apa yang harus aku kerjakan? Rasa-rasanya rasa malas erat mendakap seluruh lekuk tubuhku, persendianku seperti kaku enggan kugerakan kemana pun. Aku tahu hari ini aku harus ke kampus, tapi..Tuhan.., beratnya hatiku meninggalkan kamar, "mending aku bermesraan dengan facebook, si makhluk bermuka dua," pikirku..
Masih duduk dan melamun, sambil menerawang mencari-cari semangat yang sedang kabur, sayup-sayup kudengar nyayian dari luar kamarku. Lagu ini aku ingat, lagu legendaris. Aku suka sekali dengan lagu itu, apalagi kalau dibawakan secara akustik, membuatku merinding. Lamunanku yang tidak terkonsep itu akhirnya buyar, aku fokus mendengar nyanyian itu, merdu sekali menyatu dengan ritme gitar, membentuk harmoni yang menimbulkan gemuruh di hatiku. Siapa gerangan yang menyayikannya? Suaranya tidak begitu asing, menyayikan untuku,kah?
Bergegas aku menuju jendela, paku2 imajiner yang tadi melumpuhkan persendiaanku luluh lantak, aku sibak tirai pecundang itu, aku ingin tau siapa yang menyayikannya. Sejurus kemudian aku buka jendela, sinar mentari yang masih terik itu beradu dengan mataku yang aku picingkan. Aku pun celingukan memanjangkan leherku keluar jendela..
“Hemm..mana orang itu, kok tak nampak.?” Aku terheran karena tak seorang pun di sana.
Orang itu terus melagu, meski tak tampak, suaranya aku kenal, suara seorang pria yang tak asing bagiku. Dari artikulasi dan vibranya sepertinya dia menghayati betul lagu itu. Tebakanku, pria itu sama denganku, menyukai lagu itu dan sedang kehilangan semangat karena sesuatu hal. Dia tak nampak tapi suaranya makin jelas, semakin dekat. Disitu aku masih seperti orang bego, celingukan mencari sesuatu yang tak nampak tapi terasa, aku yakin ia ada.
Dua menit sudah aku bertahan dibibir jendela kamarku, biasanya dari lantai 3 bisa kulihat siapapun yang beraktivitas dibawah. Aku pun tahu persis anak-anak sini biasanya memainkan gitar di bawah pohon sukun itu. Aku coba mengingat-ingat, siapa anak bawah yang punya tipe suara seperti itu? Aku ingin menyampaikan rasa terima kasihku, ia telah telah menghibur hatiku meski ia tak menyadari. Aku appreciate, lagu itu mewakili guratan hatiku.
“Sudahlah, dia bernyayi di dalam kamarnya kali,” pikirku. Aku tutup jendela, kututup kembali tirai, hari ini sinar mentari menjadi musuhku, seperti halnya aku sedang bermusuhan dengan keadaan. Lagu itu masih berlanjut, mulai masuk ke bait terakhir. Aku masih menikmatinya, sambil kurebahkan tubuhku diatas kasur. Seiring aku rebahkan tubuh ini ternyata lagu itu semakin jelas! Suaranya aku hapal, semakin hapal. Aku tahu suara siapa itu, bukan anak bawah, bukan pula pengamen jalanan. Aku tahu suara siapa itu…dan aku tahu nyayian itu bukan berasal dari luar dinding kamarku tidak juga di dalam kamarku. Lirik demi lirik penutup itu semakin jelas terdengar, bukan ditelingaku tetapi di dadaku, di hatiku. ”Terlalu manis untuk dilupakan kenangan yang indah bersamamu tinggallah mimpi...” begitu katanya.. aku pun tertidur tapi bukan mati sayang..
(jatinangor, Agustus 2009)
*Teman silahkan mengomentari, menilai, memberi kritik, saran, atau hujatan sekali pun..hehe, sekedar ungkapan ide dalam media tulisan..thx sebelumnya..
Setengah sadar, sambil terduduk aku berpikir, mau apa aku hari ini? Apa yang harus aku kerjakan? Rasa-rasanya rasa malas erat mendakap seluruh lekuk tubuhku, persendianku seperti kaku enggan kugerakan kemana pun. Aku tahu hari ini aku harus ke kampus, tapi..Tuhan.., beratnya hatiku meninggalkan kamar, "mending aku bermesraan dengan facebook, si makhluk bermuka dua," pikirku..
Masih duduk dan melamun, sambil menerawang mencari-cari semangat yang sedang kabur, sayup-sayup kudengar nyayian dari luar kamarku. Lagu ini aku ingat, lagu legendaris. Aku suka sekali dengan lagu itu, apalagi kalau dibawakan secara akustik, membuatku merinding. Lamunanku yang tidak terkonsep itu akhirnya buyar, aku fokus mendengar nyanyian itu, merdu sekali menyatu dengan ritme gitar, membentuk harmoni yang menimbulkan gemuruh di hatiku. Siapa gerangan yang menyayikannya? Suaranya tidak begitu asing, menyayikan untuku,kah?
Bergegas aku menuju jendela, paku2 imajiner yang tadi melumpuhkan persendiaanku luluh lantak, aku sibak tirai pecundang itu, aku ingin tau siapa yang menyayikannya. Sejurus kemudian aku buka jendela, sinar mentari yang masih terik itu beradu dengan mataku yang aku picingkan. Aku pun celingukan memanjangkan leherku keluar jendela..
“Hemm..mana orang itu, kok tak nampak.?” Aku terheran karena tak seorang pun di sana.
Orang itu terus melagu, meski tak tampak, suaranya aku kenal, suara seorang pria yang tak asing bagiku. Dari artikulasi dan vibranya sepertinya dia menghayati betul lagu itu. Tebakanku, pria itu sama denganku, menyukai lagu itu dan sedang kehilangan semangat karena sesuatu hal. Dia tak nampak tapi suaranya makin jelas, semakin dekat. Disitu aku masih seperti orang bego, celingukan mencari sesuatu yang tak nampak tapi terasa, aku yakin ia ada.
Dua menit sudah aku bertahan dibibir jendela kamarku, biasanya dari lantai 3 bisa kulihat siapapun yang beraktivitas dibawah. Aku pun tahu persis anak-anak sini biasanya memainkan gitar di bawah pohon sukun itu. Aku coba mengingat-ingat, siapa anak bawah yang punya tipe suara seperti itu? Aku ingin menyampaikan rasa terima kasihku, ia telah telah menghibur hatiku meski ia tak menyadari. Aku appreciate, lagu itu mewakili guratan hatiku.
“Sudahlah, dia bernyayi di dalam kamarnya kali,” pikirku. Aku tutup jendela, kututup kembali tirai, hari ini sinar mentari menjadi musuhku, seperti halnya aku sedang bermusuhan dengan keadaan. Lagu itu masih berlanjut, mulai masuk ke bait terakhir. Aku masih menikmatinya, sambil kurebahkan tubuhku diatas kasur. Seiring aku rebahkan tubuh ini ternyata lagu itu semakin jelas! Suaranya aku hapal, semakin hapal. Aku tahu suara siapa itu, bukan anak bawah, bukan pula pengamen jalanan. Aku tahu suara siapa itu…dan aku tahu nyayian itu bukan berasal dari luar dinding kamarku tidak juga di dalam kamarku. Lirik demi lirik penutup itu semakin jelas terdengar, bukan ditelingaku tetapi di dadaku, di hatiku. ”Terlalu manis untuk dilupakan kenangan yang indah bersamamu tinggallah mimpi...” begitu katanya.. aku pun tertidur tapi bukan mati sayang..
(jatinangor, Agustus 2009)
*Teman silahkan mengomentari, menilai, memberi kritik, saran, atau hujatan sekali pun..hehe, sekedar ungkapan ide dalam media tulisan..thx sebelumnya..
0 komentar:
Posting Komentar