Cari Blog Ini

Rabu, 25 Agustus 2010

DEMOKR-ASU

Rabu, 25 Agustus 2010

Belum lama reformasi, susana sudah mirip seperti orde baru, KKN tak habis-habis. Demorasi memang ada, tapi?? saat ini rakyat disuguhi demokrasi yang diracik dengan bahan baku 'beras' pendidikan kualitas rendah dan 'daging' kemiskinan yang sudah busuk. diolah dengan proses instan (dibaca:asal jadi) menggunakan tangan yang tidak higenis, simsalabim jadilah bacang demokrasi ala istana yang bikin mencret siapapun yang menyantapnya. Sungguh sadis, pemerintah hendak meracuni rakyat dengan demokrasi ala mereka.

Akan tetapi, Kebebasan, buah dari demokrasi itu benar subur di negara kita, namun habis dikonsumsi oleh sekelompok orang yang merasa menguasai negara. Kebebasan yang hakikatnya mulia dan universal, mereka reduksi menjadi sesuatu yang privat dan pilih-pilih. Kebabsan itu menjelma menjadi seperti: kebasan elit menyikat uang rakyat, kebebasan para kapitalis mengatur opini melalui media, kebebasan pengusaha beraliansi dengan pemerintah membentuk sistem pemeras buruh dan pekerja, dan kebebasan pemerintah pura-pura lupa membalas jasa para pahlawannya.

Untuk kriteria yang terakhir, saya angkat topi untuk negara. bagaimana tidak, kebebasan pemerintah lupa ingatan atas jasa para pahlawannya itu terlihat baru-baru ini dari kasus sepasang nenek tua ringkih. Mereka nenek-nenek yang dulunya istri pejuang kemerdekaan, tapi negara mau mempidanakan pula. Dalam kasus ini negara memang memiliki alasan yang rasional, tapi alasan saja tidak cukup, karena sebuah pemerintah tidak akan pernah kehabisan alasan untuk mengamankan kepentingannya. Saya beranggapan, saatnya pemerintah berpikir mendalam, bagaimana etikanya meperlakukan pahlawan? Kasus ini sejatinya merupakan momentum melakukan revolusi nilai-nilai kemanusiaan dalam pemerintahan. hanya saja sayang, mediamassa kurang giat merong-rong pemerintah untuk introspeksi.

Disinilah seharusnya buah kebebasa yang ranum itu di panen masyarakat dan mediamasa, wujud konkritnya melalui penekanan-penekanannya pada pemerintah terkait isu-isu kemanusiaan. Sejauh ini kebebasan terlalu terlimpah pada isu-isu bergendre politik. Disini terlihat jelas, media atau organisasi-organisasi tukang demo itu hanya semangat bergerak apabila isu-isu yang disuarakan potensial untuk kepentingan politiknya dan menjual untuk isi kantongnya. Ironis, isu kemanusiaan dianggap tumpul dijadikan senjata lobi politik yang ujung2nya bermuara pada HTW (dibaca:harta, tahta, wanita), itulah yang membuat isu kemanusiaan macam kasus Nenek Soelarti dan Roesmini tidak laku di negara ini. negara yang mayoritas elitnya masih berpikir HTW, bukan berpikir nation. Semakin membuka mata, demokrasi yang kita banggakan ini ternyata ruangnya sempit, sampai-sampai tidak ada tempat untuk Nenek Soelarti dan Roesmin.

Melihat kasus ini kita harus fair, kenapa bangsa dan negara ini tidak maju-maju? kalau di ruang kuliah dan layar-layar TV sudah banyak profesor sampai tukang beca yang memberikan analisisnya, disini saya berpendapat, sepertinya kita sudah lupa pelajaran PMP/PPKN sewaktu SD dulu. Singkatnya, akui saja kita ini bangsa yang durhaka pada para pahawannya...(menulis ini saya kasian pada bung Karno)

Tiba-tiba saya berkhayal, apakah mungkin para pahlawan sakit hati melihat dari alam baka sana perlakuan sadis negara pada keluarganya di dunia, sehingga dialam sana mereka ramai-ramai melobi tuhan untuk memberikan pelajaran bagi Indonesia, haha..demokrASU..demokrASU...

0 komentar:

Posting Komentar

 
RIZKI dialogue.. ◄Design by Pocket, BlogBulk Blogger Templates